Transaksi option yaitu kontrak untuk
memperoleh hak dalam rangka membeli atau hak untuk menjual yang tidak
harus dilakukan atas sejumlah unit valuta asing pada harga dan jangka
waktu atau tanggal akhir tertentu.
Dari
beberapa macam jenis dari valuta asing di atas, tidak semua dipandang
sesuai dengan syari’at Islam, dalam arti ada jenis yang dihukumi haram,
dan ada pula yang hukumnya sah menurut Islam. Adapun hukum-hukumnya bisa
dilihat dalam fatwa yang dikeluarkan fatwa Dewan Syari’ah yang
dituliskan dalam pembahasan terakhir.
C. Jual Beli Valuta Asing Dalam Perspektif Fiqh
Secara normative hukum Isalam, jual
beli valuta asing yang dilakukan saat sekarang tidaklah berubah fungsi
uang dalam Islam. Karena al-sharf yang dijadikan sebagai
salah satu jasa perbankan tidaklah sama dengan perdagangan uang atau
memperjual belikan uang yang dalam banyak hal telah merugikan masyarakat
banyak, terutama dalam kasus Indonesia.
Perbedaan antara al-sharf dengan perdagangan uang atau jual beli uang, terletak pada hukum yang diterapkan pada al-sharf. Walaupun al-sharf
itu merupakan salah satu variasi dari jual beli, akan tetapi ia tidak
dihukumi dengan konsep jual beli secara umum, karena dalam konsep jual
beli boleh untuk di tangguhkan. Sedangkan dalam variasi jual beli uang
dengan uang memakai hukum khusus yang tidak terdapat dalam bai’ mutlak
(jual beli barang dengan uang) dan bai’ muqayyadah (jual beli barang
dengan barang) yaitu dalam hal time settlement-nya. Artinya dalam aqad al-Sharf ini harus dilakukan secara tunai (tidak boleh ditangguhkan).
Sebagaimana diketahui, bahwa jual beli itu bisa berupa ayn (goods dan service) yang berarti barang dan jasa, atau juga berupa dayn (financial obligation). Objek jual beli yang berupa dayn dengan dayn, hukumnya adalah tidak sah karena hal tersebut telah menjadikan dayn sebagai ayn. Akan tetapi ketika kedua bentuk dayn itu adalah berupa mata uang, maka ia adalah al-sharf yang
hukumnya boleh (mubah) dengan syarat kedua mata uang tersebut harus
diserahkan secara langsung (tunai) sebelum para pihak berpisah. Sehingga
akad al-sharf ini bisa disebut sebagai pengecualian dari aqad lain yang obyeknya berupa dayn.
Tujuan dari keharusan tunai dalam aqad al-sharf ini adalah untuk menghindari adanya gharar yang terdapat dalam riba fadl. Gharar dalam aqad al-sharf ini akan lenyap karena time of settlement-nya
dilaksanakan secara tunai. Sedangkan dalam aqad yang obyeknya berupa
barang, maka selain masa penyerahannya yang harus tunai, juga harus sama
dalam hal kualitas dan kuantitasnya. Justru merupakan satu hal yang
tepat, ketika Ibn Taimiyah mensyaratkan harus dilakukan secara simultan (taqabud) dalam transaksi perdagangan uang.
Sebagai salah satu variasi jual beli, al-sharf juga
tentu saja harus memenuhi persyaratan sebagaimana halnya variasi jual
beli yang lain seperti bai’ mutlak dan muqayyadah. Karena agar jual beli
itu terbentuk dan sah diperlukan sejumlah syarat, yaitu syarat adanya
aqad jual beli dan syarat sahnya jual beli. Sehingga aqad jual beli itu
tidak saja ada dan terbentuk, akan tetapi juga sah secara hukum. Dengan
demikian hukum tentang al-sharf yang biasa diartikan dengan jual beli valuta asing tidak diragukan lagi kebolehannya dari sudut fiqh Islam.
D. Dasar Hukum al-Sharf
Seperti yang telah diterangkan dalam
pendahuluan bahwa setelah beberapa jenis mata uang telah dibuat, maka
mata uang kertas wajib menggantikan fungsi emas dan perak, yang mana
emas dan perak inilah yang dulu dipakai sebagai alat tukar. Dengan
demikian mata uang kertas menjadi satu-satunya satuan hitung dan sarana
perantara dalam tukar menukar. Mata uang kertas menjadi nilai harga
sebagaimana halnya emas dan perak. Oleh sebab itu hukum tukar menukar
mata uang kertas tunduk kepada peraturan al-sharf sebagaimana halnya emas dan perak.
Praktek al-sharf hanya
terjadi dalam transaksi jual beli, di mana praktek ini diperbolehkan
dalam Islam berdasarkan firman Allah QS. al-Baqarah ayat 275:
úïÏ%©!$# tbqè=à2ù‘t (#4qt/Ìh9$# w tbqãBqà)t wÎ) $yJx. ãPqà)t Ï%©!$# çmäܬ6ytFt ß`»sÜø¤±9$# z`ÏB Äb§yJø9$# 4 y7Ï9ºs öNßg¯Rr‘Î/ (#þqä9$s% $yJ¯RÎ) ßìøt7ø9$# ã@÷WÏB (#4qt/Ìh9$# 3 ¨@ymr&ur ª!$# yìøt7ø9$# tP§ymur (#4qt/Ìh9$# 4 `yJsù ¼çnuä!%y` ×psàÏãöqtB `ÏiB ¾ÏmÎn/§ 4ygtFR$$sù ¼ã&s#sù $tB y#n=y ÿ¼çnãøBr&ur n<Î) «!$# ( ïÆtBur y$tã y7Í´¯»s9‘ré‘sù Ü=»ysô¹r& Í$¨Z9$# ( öNèd $pkÏù crà$Î#»yz
”Orang-orang
yang makan (mengambil) riba tidak dapat berdiri melainkan seperti
berdirinya orang yang kemasukan syaitan lantaran (tekanan) penyakit
gila. keadaan mereka yang demikian itu, adalah disebabkan mereka Berkata
(berpendapat), Sesungguhnya jual beli itu sama dengan riba, padahal
Allah Telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba. orang-orang
yang Telah sampai kepadanya larangan dari Tuhannya, lalu terus berhenti
(dari mengambil riba), Maka baginya apa yang Telah diambilnya dahulu
(sebelum datang larangan); dan urusannya (terserah) kepada Allah. orang
yang kembali (mengambil riba), Maka orang itu adalah penghuni-penghuni
neraka; mereka kekal di dalamnya.”
Kemudian dalam hadis Rasulullah juga disebutkan bahwa:[9]
لا تبيعوا الذهب بالذهب الا سواء بسواء, والفضة بالفضة, الا سواء بسواء, و بيعوا الذهب بالفضة والفضة بالذهب كيف شئتم (رواه بخاري)
“Janganlah engkau menjual emas dengan emas, kecuali seimbang,dan jangan pula menjual perak dengan perak kecuali seimbang. Juallah emas dengan perak atau perak dengan emas sesuka kalian.” (HR. Bukhari).
“Nabi melarang menjual perak
dengan perak, emas dengan emas, kecuali seimbang. Dan Nabi
memerintahkan untuk menjual emas dengann perak sesuka kami, dan menjual
perak dengan emas sesuka kami”.
“Kami
telah diperintahkan untuk membeli perak dengan emas sesuka kami dan
membeli emas dengan perak sesuka kami. Abu Bakrah berkata: beliau
(Rasulullah) ditanya oleh seorang laki-laki, lalu beliau menjawab, Harus
tunai (cash). Kemudian Abi Bakrah berkata, Demikianlah yang aku
dengar.” (HR. Abu Hurairah)
Dari beberapa Hadis di atas dipahami bahwa hadis pertama dan kedua merupakan dalil tentang diperbolehkannya al-sharf serta tidak boleh adanya penambahan antara suatu barang yang sejenis (emas dengan emas atau perak dengan perak), karena kelebihan antara dua barang yang sejenis tersebut merupakan riba fadl yang jelas-jelas dilarang oleh Islam. Sedangkan hadis ketiga, selain bisa dijadikan dasar diperbolehkannya al-sharf,
juga mengisyaratkan bahwa kegiatan jual beli tersebut harus dalam
bentuk tunai, yaitu untuk menghindari terjadinya riba nasi’ah.
Dengan demikian dapat disimpulkan
bahwa jual beli mata uang (valuta asing) dibatasi oleh beberapa syarat,
dan syarat-syarat itu telah disebutkan oleh para ulama dalam penukaran
emas dan perak yang mana berlaku juga dalam penukaran mata uang yang ada
pada zaman setelahnya.[10]
E. Syarat-Syarat Dan Batasan-Batasan Al-sharf
a. Serah terima sebelum iftirak (berpisah)
Maksudnya yaitu transaksi tukar
menukar dilakukan sebelum kedua belah pihak berpisah. Hal ini berlaku
pada penukaran mata uang yang berjenis sama maupun yang berbeda, oleh
karena itu kedua belah pihak harus melakukan serah terima sebelum
keduanya berpisah meninggalkan tempat transaksi dan tidak boleh menunda
pembayaran salah satu antara keduanya. Apabila persyaratan ini tidak
dipenuhi, maka jelas hukumnya tidak sah.
Hal ini sesuai dengan dalil yang
bersumber dari hadis nabi seperti yang telah disebutkan terakhir di atas
yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah. Begitu pula dengan hadis yang
diriwayatkan oleh Abu Sa’ad al-Khudhri, bahwasannya Rasulullah bersabda:
”janganlah kalian menjual emas dengan emas, kecuali sama rata,
dan janganlah melebihkan salah satu diantara keduanya. Dan janganlah
kalian menjual perak dengan perak, kecuali sama rata, dan janganlah
kalian melebihkan salah satu antara keduanya. Dan janganlah kalian
menjual -emas dan perak- yang telah ada dengan yang belum ada.”
Namun terdapat beberapa interpretasi yang berbeda di kalangan ulama mengenai istilah iftirak, yaitu:
· Jumhur
ulama seperti ulama Hanafi, Syafi’i dan Hambali sepakat bahwa yang
dimaksud iftirak adalah apabila kedua belah pihak telah meninggalkan
tempat transaksi. Apabila kedua belah pihak belum beranjak dari tempat
maka tidak dikatakan iftirak meski dalam waktu yang lama. Pengertian ini
didasari kepada Umar bin Khatab ketika meriwayatkan sebuah hadis, lalu
beliau berkata kepada thalhah: ”demi Tuhan, jangna kamu tinggalkan orang
itu sebelum menerima sesuatu darinya.” dalil ini menunjukkan bahwa yang
dijadikan standar iftirak adalah pisah badan.
· Ulama
Maliki berpendapat bahwa iftirak badan bukan merupakan ukuran sah atau
tidaknya suatu transaksi. Yang jadi ukuran yaitu serah terima harus
dilakukan ketika pengucapan ijab dan kabul berlangsung. Maksudnya, jika
serah terima dilakukan setelah ijab kabul, maka transaksi tersebut
dianggap tidak sah, sekalipun kedua belah pihak belum berpisah badan.
Hal ini didasarkan pada sabda Rasulullah saw.: ” emas dengan emas adalah riba, kecuali ha wa ha (ucapan ambil dan bayar).” hal ini menunjukkan bahwa serah terima harus dilakukan seketika bersamaan dengan ijab kabul.
b. Al-Tamatsul (sama rata)
Pertukaran uang yang nilainya tidak
sama rata maka hukumnya haram, syarat ini berlaku pada pertukaran uang
yang satu atau sama jenis. Sedangkan pertukaran uang yang jenisnya
berbeda, maka dibolehkan al-tafadhul. Misalnya yaitu menukar mata uang
dolar Amerika dengan dolar Amerika, maka nilainya harus sama. Namun
apabila menukar mata uang dolar Amerika dengan rupiah, maka tidak
disyaratkan al-tamatsul. hal ini praktis diperbolehkan mengingat nilai
tukar mata uang dimasing-masing negara di dunia ini berbeda. Dan apabila
diteliti, hanya ada beberapa mata uang tertentu yang populer dan
menjadi mata uang penggerak di perekonomian dunia, dan tentunya
masing-masing nilai mata uang itu sangat tinggi nilainya.[11]
c. Pembayaran Dengan Tunai
Tidak sah huukmnya apabila di dalam
transaksi pertukaran uang terdapat penundaan pembayaran, baik penundaan
tersebut berasal dari satu pihak atau disepakati oleh kedua belah pihak.
Syarat ini terlepas dari apakah pertukaran itu antara mata uang yang
sejenis maupun mata uang yang berbeda.
d. Tidak Mengandung Akad Khiyar Syarat
Apabila terdapat khiyar syarat pada akad al-sharf
baik syarat tersebut dari sebelah pihak maupun dari kedua belah pihak,
maka menurut jumhur ulama hukumnya tidak sah. Sebab salah satu syarat
sah transaksi adalah serah terima, sementara khiyar syarat menjadi
kendala untuk kepemilikan sempurna. Hal ini tentunya dapat mengurangi
makna kesempurnaan serah terima. Menurut ulama Hambali, al-sharf dianggap tetap sah, sedangkan khiyar syaratnya menjadi sia-sia.
Selain beberapa syarat di atas, disebutkan pula batasan-batasan pelaksanaan valuta asing yang juga didasarkan dari hadis-hadis yang dijadikan dasar bolehnya jual beli valuta asing. Batasan-batasan tersebut adalah:
1. Motif
pertukaran adalah rangka mendukung transaksi komersil, yaitu transaksi
perdagangan barang dan jasa antar bangsa, bukan dalam rangka spekulasi.
2. Transaksi berjangka harus dilakukan dengan pihak-pihak yang diyakini mampu menyediakan valuta asing yang dipertukarkan.
3. Tidak dibenarkan menjual barang yang belum dikuasai, atau dengan kata lain tidak dibenarkan jual beli tanpa hak kepemilikan (bai’ ainiah).[12]
Seseorang yang melakukan perdagangan
valuta asing wajib memperhatikan batasan tersebut dan wajib menjauhkan
diri dari pasar gelap. Tidaklah dibenarkan pedagang valas berpendapat
bahwa “agama membenarkan penukaran mata uang dengan syarat dilakukan
secara tunai, tetapi mereka mengabaikan kepentingan masyarakat banyak.”
Jika mereka melakukan penyimpangan karena melakukan pemerasan, maka yang
semula halal akan menjadi terlarang karena dapat merugikan.
Dalam hal perdagangan mata uang asing
ini, Imam al-Subki sebagaimana dikutip Sura’i mengatakan bahwa pendapat
yang populer pada mazhab Syafi’I adalah boleh hukumnya melakukan
transaksi dengan mata uang dirham yang tengah berlaku walaupun ditukar
dengan dirham biasa, sedangkan dirham sebagai mata uang negara yang
mempunyai cap, maka transaksi semacam ini dibolehkan. Kemudian ia
berkata berlakunya transaksi dengan mempertukarkan mata uang yang tidak
sejenis tidaklah ada halangannya, asalkan secara tunai, Namun demikian
apakah diperbolehkan mempertukarkan mata uang yang sama namanya tetapi
berbeda negara yang memilikinya seperti dinar Marokko dengan dinar
Maghribi. Dalam hal ini Imam al-Subki tidak menemukan adanya riwayat
yang melarang tetapi pendapat yang terkuat adalah membolehkannya.
Dari pernyataan di atas dapat dipahami
bahwa tukar menukar uang yang satu dengan uang yang lain diperbolehkan.
Begitu pula memperdagangkan mata uang asalkan nama dan mata uangnya
berlainan atau nilainya saja yang berlainan, namun harus dilakukan
secara tunai.
Dalam hal memperjualbelikan mata
valuta asing yang tidak dilakukan secara tunai, Yusuf al-Qardhawi
mengatakan tidak diperbolehkan. Oleh karena itu tidak sah jual beli uang
dengan sistem penangguhan, bahkan harus dilakukan secara tunai ketika
di tempat transaksi. Hanya saja yang menjadi kriteria tunainya sesuatu
itu menurut ukurannya sendiri-diri. Dalam hal ni menurut Yusuf
al-Qardhawi syara’ telah menyerahkan ukuran tersebut kepada adat
kebiasaan yang berlaku di suatu masyarakat. Walaupun demikian, realita
tunai ini juga mengikuti hukum darurat yang diukur sesuai dengan
ukurannya. Justru itu umat Islam tidak diperkenankan untuk menjual apa
yang dibelinya kecuali setelah diterimanya terlebih dahulu barang itu
menurut adat kebiasaan yang berlaku.
Berdasarkan beberapa pendapat para
ahli hukum Islam di atas, dapatlah disimpulkan bahwa pada dasarnya
mereka sepakat tentang bolehnya memperjual belikan valuta asing dari
jenis mata uang apapun dan dari negara manapun. Tetapi juga mereka
sepakat bahwa transaksi valuta asing harus dilakukan secara tunai dan
bertangguh. Hal ini didasarkan pada ketentuan syari’ah seperti yang
dijelaskan oleh hadis hadis Nabi di atas.
Ada hal penting yang tersirat dari
hadis hadis Nabi maupun penafsiran para ahli hukum Islam tentang
perdagangan valuta asing ini, yaitu bertujuan agar tidak ada pihak-pihak
yang di rugikan dan dizalimi, dan tidak mendatangkan mudharat bagi
masyarakat banyak. Persoalan yang merupakan masalah yang berkaitan
dengan hajat orang banyak terhadap kebutuhan ekonomi. Oleh sebab itu,
dapat dimengerti mafhum mukhalafah dari hikmah yang terkandung dari
ketentuan di atas. Di satu sisi pertukaran dan perdagangan valuta asing
merupakan suatu kebutuhan untuk perdagangan internasional dan kegiatan
ekonomi yang berhubungan dengan negara lain. Akan tetapi di sisi lain,
harus dapat pula menghindarkan diri dari hal-hal yang dilarang syari’ah
dan perilaku yang mendatangkan kemudharatan.
Sesuai dengan maqashid syari’ah yang
salah satu prinsipnya mengenai aspek hajjiyah dalam pengertian segala
yang menyulitkan dan menjadi beban bagi kehidupan harus dihindari, maka
sesungguhnya elastisitas hukum Islam mengenai perdagangan valuta asing
dapat dilihat dari sisi lain. Pada kasus perdagangan valuta asing saat
sekarang, yang notabene tidak secara tunai dan tidak simultan penyerahan
dana ketika transaksi disepakati, merupakan fenomena yang tidak sesuai
dengan ketentuan syari’ah. Ada baiknya ketentuan harus tunai dan
simultan itu untuk ditinjau kembali secara mendalam, karena perkembangan
dunia modern saat ini dengan kemajuan teknologi yang sudah sedemikian
pesatnya, yang seandainya ketentuan tersebut tidak memiliki sifat
elastisitas sesuai dengan perubahan waktu, tempat, situasi dan kondisi,
maka justru akan mendatangkankesulitan, sedangkan nafyul haraj dalam istilah ushul fiqh merupakan suatu keniscayaan.
Persoalan perdagangan valuta asing
telah menjadi sangat populer, umum dan hampir dilakukan serta diterima
sebagai suatu transaksi yang dipraktekkan di seluruh dunia. Tidak ada
sistem ekonomi suatu negara mengalami kemajuan tanpa behubungan dengan
perdagangan valuta asing. Oleh sebab itu selayaknya perdagangan valuta
asing diterima dan diadopsi sebagai suatu kebutuhan di bidang akonomi
dan bermanfaat serta sulit sekali dipisahkan dari dunia modern. Afzalur
Rahman mengutip pendapat Imam Hanafi, bahwa jika suatu bisnis secara
umum diterima dan dilakukan oleh orang banyak, maka bisnis tersebut
menjadi halal, karena merupakan kebutuhan. Akan tetapi jika perdagangan
valuta asing tersebut dilakukan dengan tujuan untuk spekulasi, dan
merusak sistem prekonomian suatu negara, maka hal inilah yang sangat
bertentangan dengan tujuan syari’ah. Solusi yang terbaik untuk hal itu
adalah mengadopsi dan menyesuaikan sistem perdagangan valuta asing yang
ada dengan prinsip-prinsip yuridis syar’i (hukum Islam), dan penulis
sepakat dengan pendapat Yusuf al- Qardhawi dan Imam Malik batasan tunai
dan tangguh diserahkan kepada adat kebiasaan masyarakat sesuai dengan
kaedah ushul fiqh al adatu muhakamah.
F. Contoh-Contoh Pelaksanaan Valuta Asing
Berikut ini adalah contoh-contoh yang
diambil dari salah satu literatur yang khusus membahas masalah-masalah
jual beli yang dipertanyakan oleh orang-orang yang ingin mendapatkan
hukum yang benar sesuai dengan syari’at Islam, dan jawaban yang
diberikan merupakan hasil dari musyawarah yang dilakukan oleh kelompok bahstul masail terkenal.
1. Seorang
dokter berkebangsaan Mesir bekerja si Saudi menabung sebagian uang dari
gajinya disalah satu Bank di Saudi. Saat dia akan pulang, dia berniat
untuk menukar mata uang Saudi ke pound Mesir. Di
mesir dia akan mendapat dua hal yaitu menukarkannya di bank atau di
money changer. Di Mesir nilai tukar satu dolar mencapai 80 qirsy mesir.
Jika dia menukarkannya kepada pedagang mata uang maka harga satu dolar
bisa mencapai 120 qirasy mesir. Apakah hal tersebut haram?. Jawabannya
adalah apabila dia menukarkan uang kepada pedagang valas dengan harga
120 qirsy dari jenis yang berlainan, maka hukumnya halal.[13]
2. Ada
beberapa orang al-Jazair yang pergi ke prancis. Lalu mereka mengambil
mata uang Perancis dari para pekerja al-Jazair di sana, 1000 franc
Prancis ditukar dengan 2000 dinar aljazair dan terkadang bisa lebih.
Ketika mereka kembali ke aljazair, mereka menyerahkan uang tersebut
kepada keluarga para pekerja dengan mata uang aljazair. Artinya
penukaran matauang tersebut tidak berlangsung secara tunai. Dan perlu
diketahui bahwa mata uang aljazair lebih mahal daripada prancis. Jika
masalahnya seperti ini maka hukumnya tidak diperbolehkan menjual
sebagiannya dengan sebagian lainnya kecuali secara tunai.[14]
3. Sesorang
menerima gaji dengan riyal Saudi, lalu dia menukarnya dengan riyal
Sudan. Sedangkan satu riyal Saudi sama dengan 3 riyal Sudan. Maka hal
ini dinilai boleh yaitu menukar uang kertas suatu Negara ke uang kertas
Negara lain meskipun objek penukaran berbeda nilainya. Namun dengan
syarat bahwa serah terima dilaksanakan di tempat transaksi.[15]
G. Fatwa Mui Tentang al-Sharf
FATWA
DEWAN SYARI’AH NASIONAL
NO: 28/DSN-MUI/III/2002
Tentang
JUAL BELI MATA UANG (AL-SHARF)
DEWAN SYARI’AH NASIONAL
NO: 28/DSN-MUI/III/2002
Tentang
JUAL BELI MATA UANG (AL-SHARF)
Menimbang :
1. Bahwa dalam sejumlah kegiatan untuk memenuhi berbagai keperluan, seringkali diperlukan transaksi jual-beli mata uang (al-sharf), baik antar mata uang sejenis maupun antar mata uang berlainan jenis.
2. Bahwa
dalam ‘urf tijari (tradisi perdagangan) transaksi jual beli mata uang
dikenal beberapa bentuk transaksi yang status hukumnya dalam pandang
ajaran Islam berbeda antara satu bentuk dengan bentuk lain.
3. Bahwa agar kegiatan transaksi tersebut dilakukan sesuai dengan ajaran Islam, DSN memandang perlu menetapkan fatwa tentang al-sharf untuk dijadikan pedoman.
Mengingat :
· Firman Allah, QS. Al-Baqarah[2]:275: “…Dan Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba…”
· Hadis
nabi riwayat al-Baihaqi dan Ibnu Majah dari Abu Sa’id
al-Khudri:Rasulullah SAW bersabda, ‘Sesungguhnya jual beli itu hanya
boleh dilakukan atas dasar kerelaan (antara kedua belah pihak)’ (HR.
al-baihaqi dan Ibnu Majah, dan dinilai shahih oleh Ibnu Hibban).
· Hadis
Nabi Riwayat Muslim, Abu Daud, Tirmidzi, Nasa’i, dan Ibn Majah, dengan
teks Muslim dari ‘Ubadah bin Shamit, Nabi s.a.w bersabda: “(Juallah)
emas dengan emas, perak dengan perak, gandum dengan gandum, sya’ir
dengan sya’ir, kurma dengan kurma, dan garam dengan garam (denga syarat
harus) sama dan sejenis serta secara tunai. Jika jenisnya berbeda,
juallah sekehendakmu jika dilakukan secara tunai.”.
· Hadis
Nabi riwayat Muslim, Tirmidzi, Nasa’i, Abu Daud, Ibnu Majah, dan Ahmad,
dari Umar bin Khattab, Nabi s.a.w bersabda: “(Jual-beli) emas dengan
perak adalah riba kecuali (dilakukan) secara tunai.”.
· Hadis
Nabi riwayat Muslim dari Abu Sa’id al-Khudri, Nabi s.a.w bersabda:
Janganlah kamu menjual emas dengan emas kecuali sama (nilainya) dan
janganlah menambahkan sebagian atas sebagian yang lain; janganlah
menjual perak dengan perak kecuali sama (nilainya) dan janganlah
menambahkan sebagaian atas sebagian yang lain; dan janganlah menjual
emas dan perak tersebut yang tidak tunai dengan yang tunai.
· Hadis
Nabi riwayat Muslim dari Bara’ bin ‘Azib dan Zaid bin Arqam :
Rasulullah saw melarang menjual perak dengan emas secara piutang (tidak
tunai).
· Hadis
Nabi riwayat Tirmidzi dari Amr bin Auf: “Perjanjian dapat dilakukan di
antara kaum muslimin, kecuali perjanjian yang mengharamkan yang halal
atau menghalalkan yang haram; dan kaum muslimin terikat dengan
syarat-syarat mereka kecuali syarat yang mengharamkan yang halal atau
menghalalkan yang haram.”
· Ijma. Ulama sepakat (ijma’) bahwa akad al-sharf disyariatkan dengan syarat-syarat tertentu.
Memperhatikan :
1. Surat dari pimpinah Unit Usaha Syariah Bank BNI no. UUS/2/878
2. Pendapat peserta Rapat Pleno Dewan Syari’ah Nasional pada Hari Kamis, tanggal 14 Muharram 1423H/ 28 Maret 2002.
MEMUTUSKAN
Dewan Syari’ah Nasional Menetapkan : FATWA TENTANG JUAL BELI MATA UANG (AL-SHARF).
Pertama : Ketentuan Umum
1. Transaksi jual beli mata uang pada prinsipnya boleh dengan ketentuan sebagai berikut:
2. Tidak untuk spekulasi (untung-untungan).
3. Ada kebutuhan transaksi atau untuk berjaga-jaga (simpanan).
4. Apabila transaksi dilakukan terhadap mata uang sejenis maka nilainya harus sama dan secara tunai (at-taqabudh).
5. Apabila berlainan jenis maka harus dilakukan dengan nilai tukar (kurs) yang berlaku pada saat transaksi dan secara tunai.
Kedua : Jenis-jenis transaksi Valuta Asing
a) Transaksi
SPOT, yaitu transaksi pembelian dan penjualan valuta asing untuk
penyerahan pada saat itu (over the counter) atau penyelesaiannya paling
lambat dalam jangka waktu dua hari. Hukumnya adalah boleh, karena
dianggap tunai, sedangkan waktu dua hari dianggap sebagai proses
penyelesaian yang tidak bisa dihindari dan merupakan transaksi
internasional.
b) Transaksi
FORWARD, yaitu transaksi pembelian dan penjualan valas yang nilainya
ditetapkan pada saat sekarang dan diberlakukan untuk waktu yang akan
datang, antara 2×24 jam sampai dengan satu tahun. Hukumnya adalah haram,
karena harga yang digunakan adalah harga yang diperjanjikan (muwa’adah)
dan penyerahannya dilakukan di kemudian hari, padahal harga pada waktu
penyerahan tersebut belum tentu sama dengan nilai yang disepakati,
kecuali dilakukan dalam bentuk forward agreement untuk kebutuhan yang
tidak dapat dihindari (lil hajah).
c) Transaksi
SWAP yaitu suatu kontrak pembelian atau penjualan valas dengan harga
spot yang dikombinasikan dengan pembelian antara penjualan valas yang
sama dengan harga forward. Hukumnya haram, karena mengandung unsur
maisir (spekulasi).
d) Transaksi
OPTION yaitu kontrak untuk memperoleh hak dalam rangka membeli atau hak
untuk menjual yang tidak harus dilakukan atas sejumlah unit valuta
asing pada harga dan jangka waktu atau tanggal akhir tertentu. Hukumnya
haram, karena mengandung unusru maisir (spekulasi).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar